Senin, 25 Maret 2013

Bukan Sandiwara Langit #1


Sore itu langit masih berbaik hati menangguhkan hujannya, sehingga mentari yang akan berbaring terlihat meganya. Langit semakin terlihat mempesona dengan kumpulan kumulus yang berarak perlahan, menyisakan bias-bias putih seperti bunga kapas.

Sore ini taman yang terletak di pusat kota sudah mulai ramai. Lampu taman dinyalakan satu persatu, mulai dari ujung utara hingga selatan. Namun tetap, terangnya tak mampu mengalahkan sang jingga yang meski berbayang. Bangku-bangku taman di penuhi pasangan muda-mudi yang sedang asyik bercengkerama, beberapa orang tua dan keluarga kecil memilih menggelar tikar dan menyiapkan bekalnya di bawah pohon flamboyan yang tengah berbunga.

Sepasang suami istri mengarahkan sebelas anak-anak kecil berbaju muslim ke pojok taman. Menggelar tikar, meletakkan tas dan bekal-bekal mereka ke atasnya. Kemudian mereka semua membuat formasi lingkaran besar. Sang suami dan istri duduk berseberangan. Di sekelilingnya ramai anak-anak yang asyik berceloteh ria.

“Fika, kamu bawa bekal apa? Aku dibuatin ayam goreng nih sama mama,” celetuk seorang gadis cilik berbaju merah.

“Cuma mie goreng. Ibu nggak sempat masak apa-apa,” gadis cilik yang di panggil Fika menjawab sambil menunduk lesu.

“Yasudah, nanti kita bagi berdua ayam gorengnya, Fika,” ujar gadis berbaju merah sambil tersenyum riang.

“Anak-anak, ayo kita mulai ya ngajinya, ayo bareng-bareng baca basmalah dulu,” Sang Suami memulai forum, membuat percakapan ringan di antara mereka terhenti seketika.

Serentak bacaan tasmiyah menggema di pojok taman itu, menggetarkan ranting-ranting flamboyan di atasnya. Bismillaahirrahmaanirrahiim…

“Bu, Lia nggak bisa baca yang ini,” seorang gadis bernama Lia menghampiri Sang Guru. Sang Guru dengan sabar menuntun muridnya membaca kata perkata dalam buku Iqro’nya.

“Kalau alif ketemu sama huruf lam, di baca ‘al’. jadi apa hayo bacanya?”

Al-ka-ma-ri-ya-tu,” sang gadis mengeja.

“Hmm, coba bareng-bareng sama Ibu. Bacanya al-qo-ma-ri-ya-tu. Begitu Lia bacanya.”

“Oooh iya ya Bu, habisnya huruf qof sama kaf kan kalo di baca hampir mirip Bu,” ujar si gadis kecil. Mengucap terimakasih kemudian kembali melanjutkan membaca sendiri.

“Bapak Guru, si Bagus nggak mau baca iqro’ lagi tuh. Masa dari awal sampe sekarang dia cuma mau maen tapi nggak mau baca iqro’,” seorang anak laki-laki mengadu.

Sang Guru kemudian beranjak, menghampiri sesosok anak laki-laki berumur tujuh tahun yang asyik bermain dengan robot-robotannya. Dari awal pertemuan hingga hari ini dia masih belum mau mengaji. Mereka pikir, Bagus hanya sedang butuh waktu untuk beradaptasi dengan teman-temannya. Setelah melihat teman-temannya yang antusias belajar mengaji, ia pasti mau. Tapi ternyata perkiraan mereka sedikit meleset. Hingga hari ini Bagus masih tetap tak mau memegang buku iqro’nya.

“Bagus kenapa? Kok dari kemarin nggak mau ngaji?” tanya Bapak Guru.

Bagus hanya diam saja, masih asyik bermain dengan robot-robotannya. Tidak ia pedulikan Sang Guru yang duduk di sampingnya, mencoba merayunya untuk sekedar membaca satu alif.

Sang Istri datang, memegang lembut pundak suaminya. Dengan matanya, Sang Istri memberi isyarat pada suaminya untuk ‘menyingkir’. Sang Suami yang paham kemudian bangkit dari duduknya, dan beranjak menghampiri murid lainnya.
‘Ah iya benar, biasanya ini kan tugas ibu-ibu. Mengurusi anak yang spesial,’ batin Sang Suami.

*to be continued* 

1 komentar: