Selasa, 25 Oktober 2011

Bunda, Izinkan Aku Bertemu Ayah

Seorang gadis kecil berusia sembilan tahun tengah tertidur pulas. Diruangan yang terbilang cukup lebar, mewah, namun tidak nyaman. Karena bau obat bercampur disana-sini. Tangannya yang kecil tersambung dengan selang-selang infus yang entah sudah keberapa.

Disampingnya, terduduk seorang wanita paruh baya yang mengamati gadisnya sendu. Berkali-kali ia memperhatikan anaknya yang sedang tertidur pulas. Kadang sebulir dua bulir air mata menempel di pipinya tanpa sengaja, kemudian buru-buru ia menghapusnya.
Bunda takut kamu tidak akan bangun lagi, Nak.

Mata si gadis kecil mengerjap. Sang bunda dengan sabar menanti hingga matanya terbuka sempurna. Kemudian memberikan senyum saat gadis kecil itu melihat ke arah dirinya.

“Ada apa Sayang? Bunda disini,” kata sang bunda.

“Dinda tau kok Bunda,” jawab si gadis lemah.

“Dinda mau apa Sayang? Dinda mau minum dulu?”

Si gadis hanya menggeleng pelan.

“Bunda, bahagia itu seperti apa?” tanya si gadis tiba-tiba.

Sang bunda terdiam sesaat. Bingung dengan pertanyaan putri semata wayangnya.

“Apa Bunda sekarang bahagia?”

Belum satu pertanyaan dijawab, putrinya memberi pertanyaan lagi.

“Iya sayang, Bunda bahagia,” jawabnya. Bunda bahagia sekali melihatmu masih dapat berbincang dengan bunda, Nak.

“Bahagia itu saat Bunda menikah dengan Ayah?”

“Iya, Bunda bahagia. Apalagi setelah Bunda memiliki Dinda,” ujar sang bunda sambil tersenyum manis.
Namun dalam hatinya teriris. Pernikahannya 10 tahun yang lalu amat membahagiakannya. Kebahagiannya memuncak setelah ia melahirkan Dinda, putri semata wayangnya. Namun sepertinya kebahagiaan miliknya hanya sampai ketika Dinda meginjak umur tujuh bulan. Suaminya, Ayah Dinda meninggal dalam suatu kecelakaan konstruksi dalam pekerjaannya. Ia mengalami depresi berat saat itu. Namun berkat bantuan dari keluarga yang mendukungnya, berkat Dinda kecil, ia berhasil bangkit.

Ibarat selamat dari banjir, ia terhadang badai. Setelah bertahun-tahun menjadi single parent, kini ia harus menerima kabar buruk. Lagi. Buah hatinya tercinta divonis mengidap kanker darah, diusianya yang amat muda, delapan tahun.

Hidupnya kembali tidak tertata. Yang ada dipikirannya hanya Dinda. Sudah sebulan ini Dinda dirumah sakit, lantaran penyakitnya yang kian memburuk. Ia selalu meminta kepada dokter bagaimanapun caranya agar menyelamatkan nyawa Dinda. Ia tidak ingin kehilangan permata satu-satunya.

“Bunda…,” Dinda menyadarkan sang bunda dari lamunan masa lalunya.

“Iya Sayang?”

“Dinda tidak pernah melihat Ayah. Apa Ayah sangat tampan?”

“Tentu. Ia sangat tampan, makanya Dinda juga cantik,” goda sang bunda.

Si gadis tertawa lemah. “Ah, Bunda ini. Apa Ayah juga baik Bun?”

“Ayahmu adalah laki-laki terbaik yang pernah Bunda kenal. Ada apa sayang? Kenapa tiba-tiba bertanya tentang Ayah?”

“Emmm, nggak apa Bun. Dinda cuma kangen Ayah, kan Dinda belum pernah melihat Ayah.”

Sang bunda tertegun. Jangan Sayang, jangan sekarang..

“Yasudah, Dinda istirahat lagi ya, nanti ndak kecapean. Oke?” kata sang bunda pura-pura tegar.

“Bunda sedih ya ditinggal Ayah?” si gadis tetap melanjutkan perbincangan mereka, meski dengan suara yang melemah.

Sang bunda menghela napas sebentar, “Iya Sayang, tapi sedih Bunda terobati karena masih ada Dinda,” lanjut sang bunda dengan tersenyum kearah gadisnya itu.

“Kalau Dinda pergi, Bunda..juga sedih?”

Sang bunda mulai tak tahan. Sebulir air mata jatuh dipipinya. “Ssst, Dinda ini ngomong apa sih. Sudah, ayo Dinda istirahat,” sang bunda menjawab sembari membenahi letak selimut anaknya.

Tangan si kecil menggenggam lengannya.

“Bunda, kalo Dinda pergi, Bunda jangan sedih ya. Bunda jangan menangis. Dinda ingin Bunda bahagia. Maafkan Dinda ya Bun, karena selama Dinda sakit Bunda tidak bahgia. Kalo Dinda pergi, Bunda masih punya Allah. Allah tidak mati Bunda, Allah akan ada untuk Bunda. Sebagaimana Bunda selalu ada saat Dinda membuka mata.”

Sang bunda semakin perih batinnya. Tak ada sura yang mampu keluar. Ia hanya menangis dan berkali-kali mengecup kening dan pipi putrinya.

“Bunda jangan menangis.. Bunda tidak boleh sedih. Bunda, Dinda bosan dengan rumah
sakit ini. Dinda ingin bertemu Ayah. Dinda akan bahagia kalo bisa bertemu Ayah.”

Sang bunda memeluk tubuh mungil putrinya yang kian melemah. Pelukannya semakin menguat. Tangisnya semakin membanjir.

“Bun..da, ba..ha..gia kan.. ka..lo Din..da ba..ha..gi..a?” tanya si gadis dengan terbata dan susah payah.

Bundanya hanya bisa menangis, hingga akhirnya mengangguk pelan.

Maafkan Bunda Nak, maaafkan Bunda..

“I..zin..kan Din..da ber..te..mu..de..ngan..A..yah ya..Bun?”

Sang bunda tidak megendurkan pelukannya, hanya berbisik pelan pada telinga gadis kecilnya.

“Iya Sayang..maafkan Bunda..Bunda mencintaimu Nak..” katanya pelan.

Perlahan ia melepas pelukannya. Dan tangisnya tumpah, melihat gadis kecilnya pergi dengan senyuman termanisnya. Ia megusap wajah gadis kecilnya lembut.

“Sampaikan salam Bunda untuk Ayah ya, Dinda Sayang. Tunggu Bunda disurga Nak..” lirih sang bunda.

“Bunda, Dinda sayang sama Bunda. Dinda juga sayang sama Ayah. Walaupun Dinda belum pernah melihat Ayah. Dinda sayang semua yang disayang Bunda.Semoga Allah juga sayang sama Dinda, kaya sayngnya bunda ke Dinda”

Sabtu, 15 Oktober 2011

beautiful sunday ^^

mentari masih memberikan sinarnya pagi ini.terang sekali, seterang hati orang-orang yang dilingkupi cinta-Nya :)
awan-awan juga masih berarak indah, cumulus, cirrus, semua begitu serasi bersandingan dalam satu atap langit.
angin pagi ini pun masih lembut membelai, tidak tiba-tiba marah dan mengamuk memporak-porandakan semua.
air sungai masih mengalir, gemericiknya indah terdengar, apalagi dipadukan dengan nyanyian burung pagi hari. subhanallah ... :)

indah sekali hari ini. mendengar burung yang bebas berkicau di luar sana, bebas berterbangan di belahan bumi manapun, bebas hinggap di dahan yang ia sukai, bebas menikmati seluruh fasilitas dari-Nya.

"which of Allah's flavour can we deny?"

this sunday morning is really beautiful
but, there's always beautiful day
as long as we can live

mensyukuri apa yang telah Dia berikan itu sangatlah indah :)

Rabu, 12 Oktober 2011

bias sakura


Diluar, angin masih sepoi-sepoi. Menerbangkan dedaunan kering di halaman, melambaikan lengan-lengan daun pinus. Di kampus cemaraku, sore ini tinggal sepi. Meski masih terlihat beberapa remaja berseragam abu-abu putih melintas. Tawanya terdengar sekilas, namun lamat-lamat menjauh hilang.

Aku bersandar, pada pondasi kuat hijau muda. Dalam rengkuhan kubah biru beralas lantai hijau zamrud.
Didepanku, menanti seorang dengan sabar.

"ada apa ukh? Ceritalah.."

Aku diam. Bukan karna aku tidak ingin bercerita, bukan. Tapi, rasanya sulit merangkai kata dengan tenggorokan yg tercekat. Tak mudah berbicara dgn dada yg menyesak menahan tangis.

"menangislah ukh, keluarkan semuanya"

Satu,dua,tiga bulir bening mengalir dr pelupuk mataku. Lama-lama tak hanya satu dua, lama-lama kantung air mata itu seperti aliran sungai, yang berakhir menuju hulunya.

Ia, ukhti shalihah didepanku itu merengkuhku.
Tangisku redam dalam peluknya. Aku merasakan air mata yang berjatuhan membasahi lantai hijau zamrud al-uswahku.
Bahkan mungkin membasahi jilbab sempurnanya yang terurai panjang. Tangannya mengelus punggungku lembut, mencoba menenangkanku.

Lama, aku tenggelam dalam hiruk tangisku. Tak ada suara lagi. Selain sesenggukan tangis dan angin yang mampir menyapa.
Kami diam. Tapi mungkin hati berebut ingin bicara. Tapi yang keluar hanyalah isyarat yang menyuratkan suara hati.

Perlahan, kutarik kepalaku. Mencoba menghapus sisa-sisa airmata yg membekas.

Aku sudah lebih tenang. Perlahan, suara keluar dr mulutku. Bibirku kelu, namun cerita itu akhirnya mengalir..
Hingga akhir.

Diluar, angin masih lembut membelai. Di depan kampus cemaraku, sakura mulai berbunga. Merah muda mahkota nya tampak menawan dengan paduan hijau dedaunan. Angin kembali, menerbangkan mahkota-mahkota yang indah, membawa mahkota itu berputar2 diudara, hingga akhirnya terhempas di pelataran bumi.

Bias-bias sakura itu cantik, meski tak banyak orang menyadarinya. Karena ia tinggi, susah diraih. Perlu mendongak untuk melihat keindahannya. Perlu memanjat untuk memetik tangkai kelopaknya.
Pohon nya besar,kuat. Perlu puluhan tahun untuk merajutnya.

Sakura itu merah muda, cantik, manis, lembut, menyejukkan. Layaknya ukhuwah yang takkan layu ditelan pudarnya zaman..



Uhibbuki fillah ukhti shalihah.. :')
Semoga langkah kita tak hanya jadi bias, namun benih-benih yg nantinya akan menumbuhkan sakura-sakura cantik itu..
:)