Jumat, 29 Maret 2013

perempuan jawa


Aku terlahir dengan darah murni orang Jawa. Mama dan papa sama-sama orang Jawa asli. Meskipun kami bukanlah penganut aliran Jawa-isme, tapi tetaplah kami sebagai orang Jawa. Suku yang memiliki tata-krama cukup tinggi menurut saya.

Sebagai seorang Jawa, ada banyak sekali mitos yang sering berkeliaran di telinga saya. Misal, kalo makan di depan pintu, nanti jodohnya jauh. Kalo nyapu nya ga bersih, nanti suaminya brengosan, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya, mitos-mitos itu hanyalah senjata agar orang Jawa tidak melakukan tindakan yang dinilai tidak ber-etika. Mitos tersebut dijadikan nilai sosial oleh mayoritas orang Jawa. Sesuatu yang dianggap berharga dan patut dipertahankan. Misalnya, kalau kita makan ya tempatnya di meja makan, kalau duduk ya di kursi, bukan di bantalan tidur, kalau makan harus bersih dan tidak kecap, dan sebagainya.

Itu tadi baru sebagian tata kelakuan dari orang Jawa. Untuk bagian perempuan, lebih banyak lagi. Lebih banyak yang harus diperhatikan ketika menjadi bagian dari perempuan Jawa. Tapi yang sering saya lihat sekarang, banyak perempuan Jawa asli yang sudah lupa identitas 'Jawa' nya.

Yang pertama, sebagai seorang perempuan Jawa (terutama bila sudah baligh) haruslah bisa mengurus dirinya sendiri. Urusan pribadinya harus beres. Karena nanti dia yang akan mengurus rumah tangganya.

Sebagai seorang perempuan Jawa, dan saya rasa di suku lain pun seperti itu, perempuan dituntut untuk bisa memasak. Sebenarnya saya tidak suka bahasa 'menuntut' itu, karena bagi saya, memang kodratnya perempuan itu harus bisa masak. Apalagi kalo sudah menikah, masakan bisa jadi penambah keharmonisan rumah tangganya.
Sedikit banyak, bagi saya seorang perempuan Jawa haruslah bisa memasak. Bisa menakar kadar gizi untuk keluarganya nanti. Memastikan keluarganya makan dengan sehat dan teratur. Sehingga anak-anak dan suaminya nanti tidak perlu memakan jajanan diluar rumah yang belum jelas thoyyibnya.

Perempuan Jawa itu harus bisa menjaga keharmonisan dan martabat rumah tangganya. Menjaga keluarganya dari fitnah dan gunjingan. Menjaga suami dan anak-anaknya. Membantu suami meringankan perkerjaan, memotivasi dan menguatkannya, memperhatikannya dengan penuh sayang. Juga  membimbing anak-anaknya dengan baik agar menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitarnya.

 Perempuan Jawa juga tidak neko-neko. Sederhana dan apa adanya meski ia dari bangsawan sekalipun. Rendah hati dan sopan-santun itulah yang biasa menjadi ciri dari perempuan Jawa. Tidak suka nongkrong hanya untuk kesenangan semata yang sia-sia. Perempuan Jawa lebih suka membuat kreasi masakan dan dekor di rumah daripada mendatangi cafe-cafe atau mall hanya untuk sekedar nongkrong.

Tetapi perempuan Jawa juga harus bisa belanja. Ya, belanja. Memenuhi kebutuhan di rumah. Memberikan pakaian yang layak untuk keluarga. Memilihkan jas yang baik untuk suami. Memakaikan anaknya pakaian yang pantas dan sesuai syariat.
Apabila ada kolega yang sedang punya hajat juga terampil untuk menggunakan anggaran membeli buah tangan. Membawa bingkisan untuk bapak-ibu maupun mertua juga termasuk dalam ini.
Tentunya belanja yang sesuai dengan anggaran rumah tangga. Tidak berlebihan tapi pantas.

Oya, yang tak kalah penting, perempuan Jawa harus bisa dandan. Berdandan disini maksudnya bukan dandanan menor begitu. Tapi dandan yang sewajarnya. Misalnya dengan mandi sehari dua kali. Agar terlihat bahwa perempuan Jawa wajahnya cerah berseri. Adapun berdandan yang sesungguhnya, hanya ia kenakan di dalam rumah ;)

Yang terakhir dan paling penting, perempuan Jawa diharap memiliki pendidikan. Baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal misalnya dengan sekolah hingga menuju dunia kampus. Semakin tinggi jenjangnya, semakin banyak pula ilmu dan wawasannya. Semakin luas pengetahuannya untuk mendidik anaknya nanti.

Pendidikan non formal misalnya ketrampilan menjahit, membuat kue, membuat kerajinan tangan, menyetir, dan banyak kegiatan positif lain. Gunanya untuk menambah ketrampilan perempuan. Kalau-kalau nanti sang suami lebih memilih sang istri untuk bekerja di rumah mengurus anak, maka ada suatu hal yang bisa 'disambi'.

Dan yang paaling utama, perempuan Jawa haruslah memiliki bekal agama yang minimal baik. Kalau bisa lebih malah. Karena pada agama dan tuntunan-Nya lah semua itu bersumber.

Ingat, seorang ibu itu menjadi tonggak bagi bangsanya. Dari rahimnya lah kelak akan lahir jundi-jundi kecil yang akan meneruskan perjuangan orangtuanya. Maka bila sejak kecil si anak sudah ditanamkan ilmu-ilmu ukhrowi, akan banyak sekali calon generasi penerus bangsa yang insyaAllah akan lebih baik lagi. Generasi rabbani.

Saya orang Jawa. Tapi tanpa Indonesia saya takkan pernah menjadi seorang Jawa. Dan yang pasti, saya seorang muslimah. Saya akan berusaha sekuat mungkin menjadi seorang perempuan Indonesia berdarah Jawa yang bisa mengharumkan nama agama dan bangsa saya. Saya akan berusaha untuk menjadi agen muslim yang baik :) 

Senin, 25 Maret 2013

Bukan Sandiwara Langit #1


Sore itu langit masih berbaik hati menangguhkan hujannya, sehingga mentari yang akan berbaring terlihat meganya. Langit semakin terlihat mempesona dengan kumpulan kumulus yang berarak perlahan, menyisakan bias-bias putih seperti bunga kapas.

Sore ini taman yang terletak di pusat kota sudah mulai ramai. Lampu taman dinyalakan satu persatu, mulai dari ujung utara hingga selatan. Namun tetap, terangnya tak mampu mengalahkan sang jingga yang meski berbayang. Bangku-bangku taman di penuhi pasangan muda-mudi yang sedang asyik bercengkerama, beberapa orang tua dan keluarga kecil memilih menggelar tikar dan menyiapkan bekalnya di bawah pohon flamboyan yang tengah berbunga.

Sepasang suami istri mengarahkan sebelas anak-anak kecil berbaju muslim ke pojok taman. Menggelar tikar, meletakkan tas dan bekal-bekal mereka ke atasnya. Kemudian mereka semua membuat formasi lingkaran besar. Sang suami dan istri duduk berseberangan. Di sekelilingnya ramai anak-anak yang asyik berceloteh ria.

“Fika, kamu bawa bekal apa? Aku dibuatin ayam goreng nih sama mama,” celetuk seorang gadis cilik berbaju merah.

“Cuma mie goreng. Ibu nggak sempat masak apa-apa,” gadis cilik yang di panggil Fika menjawab sambil menunduk lesu.

“Yasudah, nanti kita bagi berdua ayam gorengnya, Fika,” ujar gadis berbaju merah sambil tersenyum riang.

“Anak-anak, ayo kita mulai ya ngajinya, ayo bareng-bareng baca basmalah dulu,” Sang Suami memulai forum, membuat percakapan ringan di antara mereka terhenti seketika.

Serentak bacaan tasmiyah menggema di pojok taman itu, menggetarkan ranting-ranting flamboyan di atasnya. Bismillaahirrahmaanirrahiim…

“Bu, Lia nggak bisa baca yang ini,” seorang gadis bernama Lia menghampiri Sang Guru. Sang Guru dengan sabar menuntun muridnya membaca kata perkata dalam buku Iqro’nya.

“Kalau alif ketemu sama huruf lam, di baca ‘al’. jadi apa hayo bacanya?”

Al-ka-ma-ri-ya-tu,” sang gadis mengeja.

“Hmm, coba bareng-bareng sama Ibu. Bacanya al-qo-ma-ri-ya-tu. Begitu Lia bacanya.”

“Oooh iya ya Bu, habisnya huruf qof sama kaf kan kalo di baca hampir mirip Bu,” ujar si gadis kecil. Mengucap terimakasih kemudian kembali melanjutkan membaca sendiri.

“Bapak Guru, si Bagus nggak mau baca iqro’ lagi tuh. Masa dari awal sampe sekarang dia cuma mau maen tapi nggak mau baca iqro’,” seorang anak laki-laki mengadu.

Sang Guru kemudian beranjak, menghampiri sesosok anak laki-laki berumur tujuh tahun yang asyik bermain dengan robot-robotannya. Dari awal pertemuan hingga hari ini dia masih belum mau mengaji. Mereka pikir, Bagus hanya sedang butuh waktu untuk beradaptasi dengan teman-temannya. Setelah melihat teman-temannya yang antusias belajar mengaji, ia pasti mau. Tapi ternyata perkiraan mereka sedikit meleset. Hingga hari ini Bagus masih tetap tak mau memegang buku iqro’nya.

“Bagus kenapa? Kok dari kemarin nggak mau ngaji?” tanya Bapak Guru.

Bagus hanya diam saja, masih asyik bermain dengan robot-robotannya. Tidak ia pedulikan Sang Guru yang duduk di sampingnya, mencoba merayunya untuk sekedar membaca satu alif.

Sang Istri datang, memegang lembut pundak suaminya. Dengan matanya, Sang Istri memberi isyarat pada suaminya untuk ‘menyingkir’. Sang Suami yang paham kemudian bangkit dari duduknya, dan beranjak menghampiri murid lainnya.
‘Ah iya benar, biasanya ini kan tugas ibu-ibu. Mengurusi anak yang spesial,’ batin Sang Suami.

*to be continued* 

Nyeri

bukan nyeri biasa. nyeri ini cuma dirasain sama kaum perempuan.
rasanyaa...nggak bisa diungkapkan deh.
bayangin aja, kalo bagian dalam rahim itu terkikis pelan-pelan. ya mirip-mirip gitu lah rasanya.
kalo nggak salah memang begitu kan ya prosesnya? sel telur yang tidak di buahi menempel pada rahim, kemudian karena tidak menjadi zigot, dia akan luruh. *besok Ekonomi ujiannya bukan Biologi -___-

dan ya, besok TPHBS hari kedua.bahasa inggris berpasangkan ekonomi.
dan ya, sama seperti sebelum-sebelumnya, saya terlampau sering untuk kedatangan tamu ketika ujian.
yang berakibat sampai menjelang pagi belum bisa tidur. tapi juga nggak belajar. cuma mlungker-mlungker, guling-guling, nahan rasa sakit perut yang teramat.

emang sih nggak semua perempuan ngalamin sakit yang sama. ada yang lancar-lancar aja. tapi ada juga yang sampai pingsan saking sakitnya. katanya sih tergantung pola makan, pola olahraga, bisa juga genetik.

dulu seriiiing banget ngeluh kalo lagi sakit begini, bilang sama mama,
"ma, kapan sih berhenti sakitnya? sampe kapan bakal ngrasain sakit kaya gini terus?"
dan banyak lagi keluhan-keluhan yang keluar.
dan mama dengan enteng menjawab,
"dulu mama juga gitu kok. besok berhenti sakitnya kalo udah melahirkan"
jeng jeng.... kaya disamber geledek dengernya.
setelah dihitung-hitung, kalo setahun ada 12 bulan, kalo target nikah saya 4 tahun lagi, dan target punya anak 6 tahun lagi, berarti 12x6 = 72. ya, kalo umur saya masih ada sampai 72 bulan lagi, barulah 'nikmat yang berupa sakit' ini hilang. subhanallah...

jadi bisa menilai bahwa perempuan itu memang mulia. gimana nggak, datang bulan udah sakit, besok kalo melahirkan lebih sakit lagi. tapi ya justru itulah yang membuat kedudukan perempuan itu mulia. kalo dia bisa sabar menghadapi semua itu pastinya *tuh nis, sabar*
subhanallah... merasa wow gitu terlahir jadi perempuan, hehe

sekedar pesan aja untuk diri sendiri, kalo sakit yang Allah kasih itu ada hikmahnya juga. misalnya kaya sekarang ini, karena lagi nggak sholat jadi belajarnya harus di kencengin lagi. walopun nggak ngaji, tapi ma'tsurot sama muroja'ahnya tetep lancar jaya. biar nggak semakin jauh dari Allah.
:')

betewe ini kenapa saya udah minum obat segala macem ga ngantuk dan ga ilang sakitnya juga ya x_x yasudahlah sabar....
semoga besok ngerjain TPHBS nya lancar jaya juga. amiiin o:) #kelastiga


Selasa, 19 Maret 2013

Aku, FLP, dan dakwah kepenulisan

Pagi-pagi gini dapet sms dari Mas Angga (ex Ketua FLP Yogya yang sekarang jadi kadiv kaderisasi). Beliau sedang baca esai yang pertama kali saya buat waktu open recruitment FLP 14. Dan beliau berkata "... ingin juga merasakan energinya kan?"

Daan, bener aja, beliau mengabarkan sebentar lagi mau ada Oprec FLP 15 dan Empatik 2 untuk angkatan 14. Soo, yang mau gabung sama kite-kite di FLP Yogyakarta persiapkan diri yak ;)

Dan ini tulisan setahun lalu waktu gabung di FLP

                                                                         ***


            Bagiku setiap tinta-tinta yang di goreskan adalah cinta. Dan cinta yang indah apabila tinta tersebut membentuk jalinan kata yang menyejukkan. Cinta yang tulus jikalau jalinan kata tersebut mampu merasuk ke dalam setiap nadi pembacanya. Cinta yang abadi, apabila setiap kalimat yang merasuk dalam nadi tersebut selalu mengingatkan pembaca kepada-Nya.
            
            Bagiku menulis tidak sekedar menggoreskan pena di atas kertas. Bagiku menulis merupakan suatu nafas yang setiap helaannya membawa cerita tersendiri. Bagiku tulisan merupakan sebuah perkataan dalam diam. Bagiku tulisan merupakan cerita yang tak dapat diucapkan. Dan bagiku, menulis seolah menanam benih, yang siap tumbuh menjadi bunga yang cantik.
            
            Setiap orang pasti bisa menulis. Setiap orang diberi kebebasan untuk menulis. Setiap orang berhak memilih apa yang akan ditulisnya. Sama seperti ketika seorang petani hendak menanam ladangnya. Ia bebas menentukan tanaman apa saja yang akan ia tanam. Ia bisa memilih jati, sehingga kayunya yang kokoh dapat dimanfaatkan untuk membuat sebuah pondasi. Ia pun dapat memilih buah apel, yang nantinya akan berbuah merah dan manis bila masak. Ia juga bebas memilih aneka bunga yang hendak bermekaran di ladangnya kelak. Dan aku, hendak menanam semuanya yang bermanfaat. Tak peduli itu jati, apel, atau mawar, bagiku mereka semua sama-sama memberi manfaat. Dan seperti jati, apel, atau mawar, aku ingin tulisanku bermanfaat pula.
           
           Pertama kali mengenal FLP ketika duduk di bangku SD. Saat itu seorang penulis bernama Izzatul Jannah mengunjungi sekolahku yang terletak di kota Surakarta. Saat itu aku tidak bergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik, tapi entah mengapa aku mengagumi bahasa-bahasa yang mereka tuliskan. Bahasa puisi khas anak SD yang menggambarkan pesona alam.
          
         Menginjak SMP, kembali tulisanku menghiasi lembar-lembar buku catatan. Hingga kemudian tergabung dalam sebuah ekstrakurikuler Jurnalistik yang tentornya dari FLP. Mengenal Mbak Biaz yang kini telah menuliskan sebuah novel berjudul “Bias Nuansa Jingga”, kemudian Mbak Flo, yang sewaktu SMA ini aku kembali bertemu dengannya di beberapa acara.

Melihat sosok-sosok akhwat tangguh seperti mereka membuatku amat sangat tertarik mempunyai keluarga bernama FLP. Semenjak saat itu selalu mengidamkan, “kapan ya bisa masuk FLP?”

Selalu mendambakan memiliki sebuah keluarga, yang disana kita tidak hanya belajar berorganisasi, tetapi juga belajar mengenai ukhuwah, dan tentunya dakwah. Dakwah melalui pena. Dan itu yang membuatku cinta. Aku ingin berdakwah melalui media yang aku sukai, yakni tulisan. Walaupun aku mafhum tulisanku belum sebaik penulis-penulis lain.

Maka dari itulah aku kemari. Belajar untuk memperbaiki kualitas tulisanku, kualitas dakwahku. Agar para mad’u nantinya datang berbondong-bondong, ikut menegakkan syi’ar Islam di bumi tempat kita berpijak. Karena sesunguhnya suatu tulisan itu dapat mengendalikan emosi dan pikiran kita. Mengendalikan jiwa-jiwa yang sedang marah kembali tenang, mengembalikan pikiran-pikiran yang buram menjadi sejernih embun.
Aku, FLP, dan Dakwah Kepenulisan… semoga semuanya serasi berpadu, membentuk sajak-sajak merdu yang menggema, merindu surga-Nya.

                                 

Minggu, 17 Maret 2013

dilemma


Lagi-lagi dipusingkan masalah perkuliahan. Bertanya-tanya, kenapa masalah ini ga pernah simpel? Tepatnya, kenapa kamu kesusahan mikirnya, Nis?

Jadi setelah rundingan sama ortu, beliau rela anaknya ini ngga jadi masuk sastra arab (udah pernah cerita kan ya di postingan sebelumnya). Ortu sepertinya udah mulai 'terbuka' tentang kuliah2an ini. Dulu beliau minta masuk sastra arab, krn pengen anaknya ini jadi dosen aja, yang sholehah gitu. Jadi belajar bahasa arab sekaligus hafalan Qur'an.
"Ya kalo mau jadi hafidzah masuk sastra arab aja mbak, belajar bahasa arab mudahin kamu buat hafalan."

Itu dulu. Dan sekarang ortu bener2 pengen nisa keterima di Manajemen UGM. Fakultas Ekonomika dan Bisnis terbaik di Indonesia *menurut versi tertentu*. Gimana nggak keder juga gue (́_̀) secara nilai rapor ngepas dan saingannya banyak bangeeeeet.

Dan semakin kesini, nisa justru pengen berhijrah ke kota dua matahari, Surabaya. Tertarik ke jurusan Ekonomi Islam yang dipunyai Bang Airlangga ( `ะท´ )

Tapi, lagi-lagi ortu pengen di Jogja. Sebenrnya ga cuma ortu, tapi banyak yang kepengen nisa tetep stay di Jogja. Secara kalo di Manajemen itu kesannya 'woww' banget gituh. Selain itu juga, yang bikin kepikiran itu amanah2 yg masih kececer di Jogja. Serasa ngga tau diri banget kalo tiba2 menghilang dari peredaran Jogja padahal tugas2 masih banyak. Hiks..

Pengennya nisa itu, punya pengalaman yang banyaak banget. Setelah ngga dibolehin kuliah di luar negri *dan sampe sekarang masih ngimpi ke Jerman* minimal boleh lah kalo nisa keluar kota. 12 tahun di kota kecil kaya Solo, lanjut 6 tahun di kota yang lebih besar, Yogyakarta, dan sekarang nisa pengen ke kota yang lebih besar lagi, Surabaya atau Jakarta (Depok, UI).

Dan kok ya jurusan yang nisa pengen itu adanya di Unair ato UI.

Tapi nisa ngga mau egois juga. Sekarang bener2 nyerahin semua keputusan ini sama Allah. Nisa yakin Allah bakal ngasih yang terbaik. Kalo emang Allah percaya nisa bakal 'safe' di Surabaya, ya insyaAllah dengan cara-Nya nisa bisa kesana. Tapi kalau Allah merasa nisa belum cukup dewasa dan ternyata di jogja masih banyak yang butuh nisa, ya nisa kudu ikhlas juga kalo akhirnya harus stay di Jogja. 
Mungkin, besok2 bakal ada sosok yang lebih dewasa yang ngebawa nisa ke kota2 besar atau bahkan negara2 besar selain Indonesia. Amiiiin *blush*

Oiya, sebenernya masalah jurusan ini juga menimbulkan kontroversi *halah*. Tapi lain kali aja deh ya nisa ceritanya.

Mohon do'anya :') 

Sabtu, 16 Maret 2013

daun kering


long time no see :)
lagi ujian sekolah nih. masih dua hari lagi. habis ini masih ada mid test, terus dua latihan ujian nasional lagi. fyuuh.. subhanallah ya kelas XII ituh :)

ujian kali ini dapet ruang di lantai tiga, tempat pas di depan meja guru, disamping jendela. asik banget, kalo udah selesai ngerjain soal bisa nengok-nengok keluar, ngeliat jalan, lapvol, pos satpam, dll.
apalagi kalo pas hujan atau mendung kaya tadi. bawaannya syahdu, jadi banyak merenung.

bahan renungan tadi pagi adalah, sehelai daun. ya, sehelai daun.

sehelai daun yang hijau, yang mengandung banyak klorofil di dalamnya, pasti akan sangat kuat menyatu dengan tangkai daun dan ranting pohon. entahlah ada unsur apa saja yang terkandung dalam sehelai daun (well, i'm a social student, we didn't study biology, etc, we studied about 'people'), tapi yang pasti daun berwarna hijau itu lebih enak dilihat, lebih segar, lebih memberi semangat.

beda dengan daun yang telah menguning, yang mungkin saja sudah tidak ada zat-zat yang terkandung didalamnya. hinggalah ia pada masanya mengering, mudah terkoyak, mudah diterbangkan angin, hingga akhirnya terhempas begitu saja di pelataran bumi.

dan iman seorang manusia itu mirip dengan sehelai daun itu. kalau iman itu kurang asupan 'gizi' nya, ia akan mudah mengering, terkoyak, dan terbawa angin. ia akan mudah jatuh dan di jatuhkan.
betapa mengerikannya.
tapi itu kerap kali terjadi.
astaghfirullah...astaghfirullahal'adziim..
lindungi kami dari mengeringnya iman dalam hati kami ya Rabb.. :')

*muhasabah diri*