Kamis, 01 November 2012

Persinggahan Terakhir #end


Aku sampai. Di sebuah ramai perempatan kota. Tepat di sudut perempatan itu terpampang baliho-baliho besar. Mengiklankan produk-produk elektronik terbaru, restoran yang baru dibuka, hingga acara panggung artis papan atas di klub-klub malam.
Kini aku berdiri tepat di bawah tiang baliho. Di seberangku ada jalan dengan banyaknya mobil-mobil mewah berlalu-lalang. Kemudian aku melihat pemandangan di depanku, pemandangan di balik panggung baliho ini. Jalan setapak yang becek terkena hujan menuju ke sebuah perkampungan kecil di bawah jalan raya itu. Seperti biasa, aku menuruni jalan kecil itu perlahan. Tiba-tiba ada seorang anak kecil mengambil payung dari tanganku.
“Sini Kak Dei, biar Asep bantu bawa payungnya,” kata bocah keriting dengan badan kurus bernama Asep itu.
“Terima kasih Asep,” balasku sambil tersenyum lembut.
Kami sampai di perkampungan sangat sederhana ini. Jangan bayangkan rumah dengan tembok dan penerangannya yang memadai. Kamar mandi saja, mereka harus menumpang di terminal maupun SPBU-SPBU terdekat. Rumahnya beratap daun kering yang disusun bertumpuk. Tiangnya dari sisa-sisa kayu yang tidak terpakai. Sedang alasnya dari kardus-kardus bekas. Orang lain tidak akan bisa membayangkan, bagaimana jadinya rumah kardus ini bila hujan deras mengguyur dari pagi hingga sore.
Tetapi mereka bisa.
“Kak Dei, lihat deh, sekarang kita bikin rumah pohon, jadi kalau hujan begini, kita bisa sembunyi di atas pohon,” kini seorang gadis kecil bersuara dari atas pohon.
“Hati-hati Ta, kalau anginnya kencang bahaya lho,” seruku dari bawah.
“Tenang aja Kak Dei, ini teknologi baru, rumah pohon anti badai tornado, hehehe,” jawab Tata sambil terkekeh, teman-temannya yang lain tertawa.
“Tata sama temen-temen di atas turun dulu yuk, udah mau malem lho,” kataku membujuk.
“Ah, nggak mau Kak Dei, dibawah gelap, kalau di atas begini bisa lihat lampu juga lho,” ujar Tata yang masih ngeyel tidak mau turun.
“Yaudah deh kalo gitu nanti jatah makan malam Tata untuk Juno, Asep, Anto, dan yang lainnya ya,” aku sedikit menggunakan taktik jituku. Mengiming-imingi mereka dengan jatah makan malam yang jarang mereka dapatkan denagn layak.
“Tata mau makan Kak Dei, mauuu. Tata turun deh kalo gitu. Temen-temen ayo turun, kita mau di traktir Kak Dei lho,” seru Tata bersemangat. Aku tersenyum simpul, geleng-geleng kepala melihat anak-anak kecil yang ramai turun dari rumah pohonnya.
 “Karena masih gerimis, kita mampir ke musholla dulu yuk,” kataku sambil mulai melangkah bersama anak-anak kecil ini.
Baru beberapa langkah tiba-tiba seorang pria paruh baya keluar. “Heh, mau kemana kamu Asep? Kerja lagi nanti kalau hujannya sudah reda, jangan ngeloyor terus!”
“Asep pergi sama Kak Dei, Pak,” jawab Asep takut-takut, bersembunyi di balik jaketku. Aku berinisiatif menemui bapak Asep.
“Assalamu’alaikum Pak, ini Dei. Maaf Pak, saya cuma mau ngajak adek-adek ke musholla sebentar, kasian mereka kehujanan disini. Nanti saya antar mereka kembali kok Pak,” kataku setenang mungkin.
Tiba-tiba muncul seorang ibu-ibu sedang menggendong bayi. Ibunya Siti. Kemudian berkata, “Oalaah, Mbak Dei tho iki. Wis, rapopo Mbak Dei, diajak wae si Siti sama temen-temennya, aku juga lagi repot iki, daripada mereka malah ribut terus. Iki lho Pakdhe sing jenenge Mbak Dei, sing biasane ngasih nasi bungkus buat kita itu,” kata Ibunya Siti kepadaku kemudian pada Bapak Asep.
Aku hanya tersenyum sebentar, kemudian menunggu bapak Asep mengangguk. Akhirnya bapak Asep mengizinkan kami untuk pergi.
Kami melanjutkan perjalanan kembali. Tujuan kali ini adalah musholla kecil di seberang jalan raya. Belum lama setiba kami di musholla, adzan Maghrib terdengar. Aku mengajak anak-anak untuk sholat.
“Ah, Siti udah lupa bacaan salat, Kak Dei. Ibu nggak pernah salat sih,” kata Siti.
“Iya Kak Dei, Tata sama yang lain juga udah lupa,” tutur Tata. Disambut tanda setuju dari teman-temannya. Aku tersenyum mengerti, kemudian berkata,
“Sekarang, dicoba lagi ya. Ambil air wudhu, trus kita sholat bareng-bareng di dalem. Kalau lupa bacaannya, dengerin imamnya dulu, insyaAllah besok Kak Dei ingetin lagi deh bacaannya. Oke?”
“Asep nunggu diluar aja deh Kak Dei, malu, bajunya asep kan kotor, nggak seperti orang-orang itu,” tukas Asep.
“Asep, Allah nggak liat bajunya Asep. Yang Allah lihat itu, gimana Asep sholatnya nanti. Yang Allah denger itu bukan pujian baju bagusnya Asep, tapi doanya Asep. Nah, sekalian aja nanti Asep minta sama Allah untuk dikasih baju baru. Ya?”
Asep terdiam sejenak. Teman-temannya juga. Kemudian mengangguk kecil. Teman-temannya yang lain segera megikuti. Mereka akhirnya berwudhu, terlepas dari wudhu yang “ala kadar”nya saja.
Kini tinggal rintik gerimis kecil. Langit pun mulai gelap. Lampu-lampu penerangan jalanan sudah menyala sejak tadi. Mentari berganti bohlam-bohlam listrik. Trotoar jalanan mulai ramai oleh pedagang kaki lima. Dan kini kami singgah di sebuah warung makan setelah sholat Maghrib berjamaah. Asep dan teman-temannya terlihat ceria sekali melihat makanan terhampar di depannya. Segera ia memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Aku menghentikan gerakan sendoknya sejenak.
“Hayoo, udah pada baca doa belum? Baca doa dulu yuk, biar Allah besok masih memberi kita makanan lagi. Ada yang mau mimpin baca doa?” aku melirik pada anak-anak lugu di depanku satu-persatu.
“Hmmm..pada lupa ya doanya. Yaudah Kak Dei aja dulu deh yang mimpin, lain kali gantian adek-adek ya..,” kataku sambil menatap mereka. “Ikutin doa Kak Dei ya Adek-adek. Allahumma baariklanaa fiima rozaqtanaa waqinaa adzaabannaar…aamiin.”
Aku kehilangan selera makan. Entah mengapa melihat wajah-wajah lugu mereka yang sedang makan sudah membuatku kenyang. Ah, andai saja… Tiba-tiba aku teringat dengan proposal yang masih tersisa di ranselku. Aku tau aku tidak boleh menyerah. Seperti mereka yang tidak menyerah dengan keadaan mereka pula.
“Akhirnya kita bisa makan ya, gara-gara hujan seharian kita batal ngamen dan nggak dapet duit sama sekali,” celetuk Agus sambil sedikit mendengus kesal.
“Iya, untung Kak Dei dateng, trus ngajakin kita makan, hehe,” Siti melirik ke arahku. Aku tersenyum saja mendengar celoteh-celoteh mereka.
Tiba-tiba Asep yang duduk di sampingku menarik jilbabku lembut. Aku menoleh ke arahnya, dan dia berbisik di telingaku, “Kak Dei, boleh minta bungkusin nasi untuk bapak di rumah?”
Aku tersenyum, “Iya, boleh kok. Sekalian buat yang lain ya, coba Asep hitung yang belum makan siapa, nanti kita bungkusin. Oke?”
Asep terlihat cerah wajahnya, “Makasih Kak.”
Setelah aku membayar semua bungkus nasi dengan hasil tabungan dan sumbangan dari mama, saatnya kami pulang. Beramai-ramai kami menyusuri trotoar yang sesak oleh pedagang. Kemudian menyeberang jalan raya untuk sampai di “rumah” mereka.
“Pak, ada makan Pak, dari Kak Dei,” kata Asep kepada bapaknya. Bapak Asep melihat bungkus nasi itu sebentar, kemudian mengambilnya, lalu masuk lagi ke dalam kemah kardus itu. Asep menyusul bapaknya ke dalam. Demikian juga dengan anak-anak yang lain, segera mencari orang tuanya masing-masing. Mereka yang tidak punya orang tua berkumpul bersama, bermain, dan bercanda sekedar untuk melupakan kesedihan mereka.
Aku lekas pamit pada anak-anak itu dan juga orangtuanya. Saat hendak pergi, Asep dan Agus mengejarku.
“Bapak bilang makasih Kak Dei. Kata Bapak, kalo besok kesini lagi, Kak Dei bawa presiden ya, biar kita dibuatkan rumah yang nggak usah ganti-ganti kardus tiap hari,” Asep berujar polos. Aku tertegun. Ya Allah..
“Kak Dei, kita anterin pulang ya. Kata bapak sama ibu kita harus jagain Kak Dei sampai rumah, soalnya ini udah malem. Bapak sama ibu udah ngasih izin kok, dan kita pasti bisa jaga diri. Kan kalo Kak Dei nggak bisa berantem, hehe,” Agus terkekeh.
Aku memandangi mereka, merangkul pundak mereka yang kurus, mengusap lembut rambut keduanya. Gerimis mereda, berganti air mataku yang kini menggenang di pelupuk mata. Aku pura-pura mendongak ke atas, agar air mataku tak terlihat oleh mereka. Wahai gelapnya langit, saksikanlah..
Sesampainya di rumah, mama menyambutku di ruang tamu. Mama tersenyum, segera aku memeluknya.
“Capek Dei?” tanya Mama sembari mengusap kepalaku yang masih terbalut jilbab.
“Belum Ma, tidak akan… Sampai Dei bisa menyaksikan mereka mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan.”
Aku terkantuk hingga akhirnya terlelap di pangkuan Mama. Mama memang selalu menjadi tempat persinggahan pertama dan terakhir. Dan aku, ingin menjadi tempat persinggahan pula untuk anak-anak kecil itu, calon generasi penerus yang akan mengubah negri ini.
***
            Masih tersisa satu lagi proposal di ranselku. Berharap siapapun dapat mengabulkan permohonan ini. Tidak perlu mahal, tidak perlu mewah. Sederhana saja, sesederhana permintaan tulus dari mereka, akan sebuah jaminan kehidupan yang lebih layak dan memadai.
“Proposal Permohonan Dana. Rumah Singgah Anak Jalanan”

2 komentar:

  1. Luar biasa..
    Semoga segera terealisasi ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiiin, amiiin ya Rabb :)
      pastinya membutuhkan bantuan dari temen2 semua.
      bersedia membantu kan mas? hehe :D

      Hapus