Sabtu, 04 Mei 2013

bukan sandiwara langit #end


“Anak sholeh, boleh Ibu pinjam robotnya sebentar?” tanya sang Ibunda Guru.

Bagus buru-buru menggelengkan kepalanya, kemudian menyembunyikan robotnya di balik punggung. Kemudian Sang Guru juga berbalik. Kini berhadapan dengan robot yang di genggam erat oleh Bagus.

“Kalau begitu, Om Robot, Ibu Guru boleh pinjam Den Bagus nya sekarang? Habisnya Den Bagus nggak mau ngomong tuh,” Ibu Guru mencoba bercanda.

Berhasil. Bagus tersenyum, sedikit. Kemudian melirik perlahan-lahan ke arah Ibu Guru.

“Den Bagus yang sholeh, robotnya kita ajarin ngaji yuk? Biar robotnya juga jadi robot yang sholeh? Gimana? Den Bagus setuju?” rayu Ibu Guru.

Bagus tidak berkata apa-apa, tapi mengangguk perlahan.Ibu Guru tersenyum. Sang Suami yang melihat dari jauh ikut tersenyum.

“Nah, ayok kita ajarin robotnya Den Bagus. Coba Den Bagus buka iqro’nya ya, biar Ibu Guru bantu,” kata Ibu Guru dengan sabar.

Bagus membuka buku iqro’nya. Hingga terbentanglah barisan huruf-huruf arab di hadapannya. Bagus menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menatap Ibu Guru, memohon bantuan.

“Nah, yang ini namanya alif, Den Bagus. Hurufnya kayak tongkat, panjang. Dibaca ‘a’. kalo yang mirip mangkuk besar dan ada telur satu di bawahnya itu huruf ba’, bacanya’ba’. Nah, kalo yang di sebelahnya, yang sama-sama mirip mangkuk besar, tapi ada dua telur di atasnya, namanya huruf ta’, di baca ‘ta’,” Ibu Guru mencoba menjelaskan dengan penuh perhatian.

Bagus mencoba mencerna. Raut wajahnya menampakkan sebuah kebingungan. Sepertinya apa yang Ibu Guru jelaskan belum ia pahami betul.

“Den Bagus mau coba sama-sama baca sama Ibu?”

Bagus menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. Ibu Guru tersenyum senang.
“Yuk kita baca sama-sama. A-BA-TA.” Ibu Guru membantu mengeja. Tapi Bagus tetap diam, hanya memperhatikan apa yang Ibu Guru baca, tidak menirukannya.

“Loh? Kok Bagus diam saja?” seorang gadis cilik berjilbab kuning mengomentari sebelum Ibu Guru membuka mulut.

“Temen-temen, sini deh. Ayo kita bantuin Bagus mengeja,” gadis jilbab kuning memanggil teman-temannya. Kemudian berkumpul sepuluh anak kecil yang ramai. Mengelilingi Bagus yang masih terlihat bingung.

“Hanya baca saja Bagus, ikuti Ibu Guru,” ujar anak laki-laki bertopi biru.

“Ayo teman-teman, kita baca bareng-bareng saja yuk, biar Bagus juga mau baca. Bagus janji ya, baca bareng-bareng kita?” jilbab kuning mengomando. Bagus hanya mengangguk ragu.

A, BA, TA,” serentak campuran suara sebelas anak kecil mengudara. Menembus batas-batas langit, hingga mungkin menggetarkan awan-awan yang di lewatinya.

“Eh, tadi Bagus baca juga. Ayo coba Bagus baca sendiri,” giliran topi biru kembali angkat suara.
Bagus malu-malu, kemudian memandangi buku iqro’ di depannya. Ia memejamkan matanya, sebentar, kemudian membuka matanya lagi. Tersenyum.

A, BA, TA.”
Lantang. Tapi kali ini bukan suara sebelas anak kecil. Kali ini sebuah suara yang di miliki seorang anak berumur tujuh tahun. Yang sejak dua tahun lalu hidup sebatang kara di panti asuhan. Yang sejak dua tahun lalu hanya berteman sebuah robot peninggaalan ayah tercinta. Dan yang sejak dua tahun lalu berhenti berbicara. Kali ini adalah suara pertamanya setelah dua tahun bibirnya terkunci rapat tanpa sebuah kata. Setelah dua tahun peristiwa menyedihkan menimpa ayah ibunya. Dan suara pertama yang ia ucapkan adalah “A, BA, TA”.

Sepasang suami istri yang kini berdiri berdampingan menampakkan wajah haru gembira. Melihat anak-anak kecil yang sedang asyik menghabiskan bekalnya. Saling berbagi, berebut, mengejek, dan ulah kekanakan lainnya.
Hingga tiba ketika matahari akan tenggelam menunggu hitungan menit. Anak-anak kembali bertemu dengan orangtua tercinta mereka. Kelas mengaji sore hari mereka telah habis. Saatnya untuk pulang ke rumah masing-masing. Saatnya untuk pulang ke dalam pelukan hangat ayah dan bunda. Sedang kedua guru itu harus merelakan mereka kembali kepada orangtuanya. Waktu yang mereka punya untuk ‘memiliki’ anak-anak itu hanya sembilan puluh menit dalam sehari.

“Ayah, andaikan saja Allah memberi kita kesempatan untuk memiliki cahaya-cahaya seperti mereka,” ucap Sang Istri tiba-tiba sembari menghapus genangan yang ada di pelupuk matanya.

“Sudahlah Bunda, jangan berandai-andai. Allah telah menggariskan yang terbaik untuk kita. Bersabarlah, jalan Allah selalu ada,” Sang Suami mencoba menenangkan, walaupun sebenarnya ia merasakan hal yang sama.
Kemudian dengan tiba-tiba Sang Suami menarik tangan istrinya. Mengajaknya menghampiri seseorang yang berjalan sendirian dengan robot tergenggam di tangannya.

“Bagus, tunggu,” ujar sang Bapak Guru. Bagus menoleh sejenak, menghentikan langkahnya.

“Ayo kita pulang sama-sama,” ucap Sang Guru. Bagus terlihat kaget.

“Bagus mau nggak, kalo Ibu Guru jadi bundanya Bagus?”

Sang Istri terperanjat, kaget. Kemudian menggenggam erat tangan suaminya. Memahami apa yang suaminya maksudkan. Kini tinggal menunggu apa jawaban Bagus.

Bagus terlihat berpikir sejenak. Di antara sayup-sayup adzan maghrib yang terdengar, ia mengangguk dan tersenyum senang. Sepasang suami-istri itu tak terhitung bahagia rasanya. Sang Istri mengucap hamdalah berkali-kali hingga menitikkan air matanya.

“Baiklah. Ayo sekarang kita sholat dulu. Setelah itu kita ke panti untuk mengambil barang-barang Bagus dan berpamitan dengan orang-orang di panti. Yuk,” ajak Sang Ayah.

Sang Ayah menggamit tangan kanan Bagus, sedang tangan kirinya di genggam oleh ibu guru yang kini menjadi bundanya itu.

Dalam langkah beriringan keluarga kecil yang baru saja terbentuk itu saling mengucap syukur dalam hati. Bersyukur atas segala keterbatasan yang mereka miliki. Bersyukur atas hadirnya sosok-sosok yang mampu melengkapi keterbatasan itu. Bersyukur atas kebahagiaan yang pasti ada walaupun kadang tersembunyi. Bersyukur, bersyukur atas segala yang mereka miliki dan tidak mereka miliki.

Matahari kini sempurna tenggelam. Berganti bulan yang malam ini masih separuh. Gemintang mengerlip, formasi-formasinya yang menakjubkan membuat elok paras langit malam. Sang hujan tidak jadi turun malam ini. Mungkin ia memberi waktu kepada mereka yang sedang berbahagia untuk bersyukur mengenang nikmat Tuhannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar