“Anak
sholeh, boleh Ibu pinjam robotnya sebentar?” tanya sang Ibunda Guru.
Bagus
buru-buru menggelengkan kepalanya, kemudian menyembunyikan robotnya di balik
punggung. Kemudian Sang Guru juga berbalik. Kini berhadapan dengan robot yang
di genggam erat oleh Bagus.
“Kalau
begitu, Om Robot, Ibu Guru boleh pinjam Den Bagus nya sekarang? Habisnya Den
Bagus nggak mau ngomong tuh,” Ibu
Guru mencoba bercanda.
Berhasil.
Bagus tersenyum, sedikit. Kemudian melirik perlahan-lahan ke arah Ibu Guru.
“Den
Bagus yang sholeh, robotnya kita ajarin
ngaji yuk? Biar robotnya juga jadi robot yang sholeh? Gimana? Den Bagus
setuju?” rayu Ibu Guru.
Bagus
tidak berkata apa-apa, tapi mengangguk perlahan.Ibu Guru tersenyum. Sang Suami
yang melihat dari jauh ikut tersenyum.
“Nah,
ayok kita ajarin robotnya Den Bagus. Coba Den Bagus buka iqro’nya ya, biar Ibu
Guru bantu,” kata Ibu Guru dengan sabar.
Bagus
membuka buku iqro’nya. Hingga terbentanglah barisan huruf-huruf arab di
hadapannya. Bagus menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menatap Ibu
Guru, memohon bantuan.
“Nah,
yang ini namanya alif, Den Bagus.
Hurufnya kayak tongkat, panjang. Dibaca ‘a’.
kalo yang mirip mangkuk besar dan ada telur satu di bawahnya itu huruf ba’, bacanya’ba’. Nah, kalo yang di sebelahnya, yang sama-sama mirip mangkuk
besar, tapi ada dua telur di atasnya, namanya huruf ta’, di baca ‘ta’,” Ibu
Guru mencoba menjelaskan dengan penuh perhatian.
Bagus
mencoba mencerna. Raut wajahnya menampakkan sebuah kebingungan. Sepertinya apa
yang Ibu Guru jelaskan belum ia pahami betul.
“Den
Bagus mau coba sama-sama baca sama Ibu?”
Bagus
menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. Ibu Guru tersenyum senang.
“Yuk
kita baca sama-sama. A-BA-TA.” Ibu
Guru membantu mengeja. Tapi Bagus tetap diam, hanya memperhatikan apa yang Ibu
Guru baca, tidak menirukannya.
“Loh?
Kok Bagus diam saja?” seorang gadis cilik berjilbab kuning mengomentari sebelum
Ibu Guru membuka mulut.
“Temen-temen,
sini deh. Ayo kita bantuin
Bagus mengeja,” gadis jilbab kuning memanggil teman-temannya. Kemudian
berkumpul sepuluh anak kecil yang ramai. Mengelilingi Bagus yang masih terlihat
bingung.
“Hanya
baca saja Bagus, ikuti Ibu Guru,” ujar anak laki-laki bertopi biru.
“Ayo
teman-teman, kita baca bareng-bareng saja yuk,
biar Bagus juga mau baca. Bagus janji ya, baca bareng-bareng kita?” jilbab kuning
mengomando. Bagus hanya mengangguk ragu.
“A, BA, TA,” serentak campuran suara
sebelas anak kecil mengudara. Menembus batas-batas langit, hingga mungkin
menggetarkan awan-awan yang di lewatinya.
“Eh,
tadi Bagus baca juga. Ayo coba Bagus baca sendiri,” giliran topi biru kembali
angkat suara.
Bagus
malu-malu, kemudian memandangi buku iqro’ di depannya. Ia memejamkan matanya,
sebentar, kemudian membuka matanya lagi. Tersenyum.
“A, BA, TA.”
Lantang.
Tapi kali ini bukan suara sebelas anak kecil. Kali ini sebuah suara yang di
miliki seorang anak berumur tujuh tahun. Yang sejak dua tahun lalu hidup
sebatang kara di panti asuhan. Yang sejak dua tahun lalu hanya berteman sebuah
robot peninggaalan ayah tercinta. Dan yang sejak dua tahun lalu berhenti
berbicara. Kali ini adalah suara pertamanya setelah dua tahun bibirnya terkunci
rapat tanpa sebuah kata. Setelah dua tahun peristiwa menyedihkan menimpa ayah
ibunya. Dan suara pertama yang ia ucapkan adalah “A, BA, TA”.
Sepasang
suami istri yang kini berdiri berdampingan menampakkan wajah haru gembira.
Melihat anak-anak kecil yang sedang asyik menghabiskan bekalnya. Saling
berbagi, berebut, mengejek, dan ulah kekanakan lainnya.
Hingga
tiba ketika matahari akan tenggelam menunggu hitungan menit. Anak-anak kembali
bertemu dengan orangtua tercinta mereka. Kelas mengaji sore hari mereka telah
habis. Saatnya untuk pulang ke rumah masing-masing. Saatnya untuk pulang ke
dalam pelukan hangat ayah dan bunda. Sedang kedua guru itu harus merelakan
mereka kembali kepada orangtuanya. Waktu yang mereka punya untuk ‘memiliki’ anak-anak itu hanya sembilan
puluh menit dalam sehari.
“Ayah,
andaikan saja Allah memberi kita kesempatan untuk memiliki cahaya-cahaya
seperti mereka,” ucap Sang Istri tiba-tiba sembari menghapus genangan yang ada
di pelupuk matanya.
“Sudahlah
Bunda, jangan berandai-andai. Allah telah menggariskan yang terbaik untuk kita.
Bersabarlah, jalan Allah selalu ada,” Sang Suami mencoba menenangkan, walaupun
sebenarnya ia merasakan hal yang sama.
Kemudian
dengan tiba-tiba Sang Suami menarik tangan istrinya. Mengajaknya menghampiri
seseorang yang berjalan sendirian dengan robot tergenggam di tangannya.
“Bagus,
tunggu,” ujar sang Bapak Guru. Bagus menoleh sejenak, menghentikan langkahnya.
“Ayo
kita pulang sama-sama,” ucap Sang Guru. Bagus terlihat kaget.
“Bagus
mau nggak, kalo Ibu Guru jadi bundanya
Bagus?”
Sang
Istri terperanjat, kaget. Kemudian menggenggam erat tangan suaminya. Memahami
apa yang suaminya maksudkan. Kini tinggal menunggu apa jawaban Bagus.
Bagus
terlihat berpikir sejenak. Di antara sayup-sayup adzan maghrib yang terdengar,
ia mengangguk dan tersenyum senang. Sepasang suami-istri itu tak terhitung
bahagia rasanya. Sang Istri mengucap hamdalah berkali-kali hingga menitikkan
air matanya.
“Baiklah.
Ayo sekarang kita sholat dulu. Setelah itu kita ke panti untuk mengambil
barang-barang Bagus dan berpamitan dengan orang-orang di panti. Yuk,” ajak Sang
Ayah.
Sang
Ayah menggamit tangan kanan Bagus, sedang tangan kirinya di genggam oleh ibu
guru yang kini menjadi bundanya itu.
Dalam
langkah beriringan keluarga kecil yang baru saja terbentuk itu saling mengucap
syukur dalam hati. Bersyukur atas segala keterbatasan yang mereka miliki.
Bersyukur atas hadirnya sosok-sosok yang mampu melengkapi keterbatasan itu.
Bersyukur atas kebahagiaan yang pasti ada walaupun kadang tersembunyi.
Bersyukur, bersyukur atas segala yang mereka miliki dan tidak mereka miliki.
Matahari
kini sempurna tenggelam. Berganti bulan yang malam ini masih separuh. Gemintang
mengerlip, formasi-formasinya yang menakjubkan membuat elok paras langit malam.
Sang hujan tidak jadi turun malam ini. Mungkin ia memberi waktu kepada mereka
yang sedang berbahagia untuk bersyukur mengenang nikmat Tuhannya.