Sore
itu langit masih berbaik hati menangguhkan hujannya, sehingga mentari yang akan
berbaring terlihat meganya. Langit semakin terlihat mempesona dengan kumpulan kumulus
yang berarak perlahan, menyisakan bias-bias putih seperti bunga kapas.
Sore
ini taman yang terletak di pusat kota sudah mulai ramai. Lampu taman dinyalakan
satu persatu, mulai dari ujung utara hingga selatan. Namun tetap, terangnya tak
mampu mengalahkan sang jingga yang meski berbayang. Bangku-bangku taman di penuhi
pasangan muda-mudi yang sedang asyik bercengkerama, beberapa orang tua dan
keluarga kecil memilih menggelar tikar dan menyiapkan bekalnya di bawah pohon
flamboyan yang tengah berbunga.
Sepasang
suami istri mengarahkan sebelas anak-anak kecil berbaju muslim ke pojok taman.
Menggelar tikar, meletakkan tas dan bekal-bekal mereka ke atasnya. Kemudian
mereka semua membuat formasi lingkaran besar. Sang suami dan istri duduk
berseberangan. Di sekelilingnya ramai anak-anak yang asyik berceloteh ria.
“Fika,
kamu bawa bekal apa? Aku dibuatin ayam goreng nih sama mama,” celetuk seorang
gadis cilik berbaju merah.
“Cuma
mie goreng. Ibu nggak sempat masak
apa-apa,” gadis cilik yang di panggil Fika menjawab sambil menunduk lesu.
“Yasudah,
nanti kita bagi berdua ayam gorengnya, Fika,” ujar gadis berbaju merah sambil
tersenyum riang.
“Anak-anak,
ayo kita mulai ya ngajinya, ayo bareng-bareng baca basmalah dulu,” Sang Suami
memulai forum, membuat percakapan ringan di antara mereka terhenti seketika.
Serentak
bacaan tasmiyah menggema di pojok taman itu, menggetarkan ranting-ranting
flamboyan di atasnya. Bismillaahirrahmaanirrahiim…
“Bu,
Lia nggak bisa baca yang ini,”
seorang gadis bernama Lia menghampiri Sang Guru. Sang Guru dengan sabar
menuntun muridnya membaca kata perkata dalam buku Iqro’nya.
“Kalau
alif ketemu sama huruf lam, di baca ‘al’. jadi apa hayo bacanya?”
“Al-ka-ma-ri-ya-tu,” sang gadis mengeja.
“Hmm,
coba bareng-bareng sama Ibu. Bacanya al-qo-ma-ri-ya-tu. Begitu Lia bacanya.”
“Oooh
iya ya Bu, habisnya huruf qof sama kaf kan kalo di baca hampir mirip Bu,”
ujar si gadis kecil. Mengucap terimakasih kemudian kembali melanjutkan membaca
sendiri.
“Bapak
Guru, si Bagus nggak mau baca iqro’
lagi tuh. Masa dari awal sampe sekarang dia cuma mau maen tapi nggak mau baca iqro’,” seorang anak laki-laki mengadu.
Sang
Guru kemudian beranjak, menghampiri sesosok anak laki-laki berumur tujuh tahun
yang asyik bermain dengan robot-robotannya. Dari awal pertemuan hingga hari ini
dia masih belum mau mengaji. Mereka pikir, Bagus hanya sedang butuh waktu untuk
beradaptasi dengan teman-temannya. Setelah melihat teman-temannya yang antusias
belajar mengaji, ia pasti mau. Tapi ternyata perkiraan mereka sedikit meleset.
Hingga hari ini Bagus masih tetap tak mau memegang buku iqro’nya.
“Bagus
kenapa? Kok dari kemarin nggak mau
ngaji?” tanya Bapak Guru.
Bagus
hanya diam saja, masih asyik bermain dengan robot-robotannya. Tidak ia
pedulikan Sang Guru yang duduk di sampingnya, mencoba merayunya untuk sekedar
membaca satu alif.
Sang
Istri datang, memegang lembut pundak suaminya. Dengan matanya, Sang Istri
memberi isyarat pada suaminya untuk ‘menyingkir’. Sang Suami yang paham
kemudian bangkit dari duduknya, dan beranjak menghampiri murid lainnya.
‘Ah iya benar, biasanya ini
kan tugas ibu-ibu. Mengurusi anak yang spesial,’
batin Sang Suami.
*to be continued*
mengeja bulan :)
BalasHapus