Aku
terlahir dengan darah murni orang Jawa. Mama dan papa sama-sama orang Jawa
asli. Meskipun kami bukanlah penganut aliran Jawa-isme, tapi tetaplah kami
sebagai orang Jawa. Suku yang memiliki tata-krama cukup tinggi menurut saya.
Sebagai
seorang Jawa, ada banyak sekali mitos yang sering berkeliaran di telinga saya.
Misal, kalo makan di depan pintu, nanti jodohnya jauh. Kalo nyapu nya ga
bersih, nanti suaminya brengosan, dan masih banyak lagi.
Sebenarnya,
mitos-mitos itu hanyalah senjata agar orang Jawa tidak melakukan tindakan yang
dinilai tidak ber-etika. Mitos tersebut dijadikan nilai sosial oleh mayoritas
orang Jawa. Sesuatu yang dianggap berharga dan patut dipertahankan. Misalnya,
kalau kita makan ya tempatnya di meja makan, kalau duduk ya di kursi, bukan di
bantalan tidur, kalau makan harus bersih dan tidak kecap, dan sebagainya.
Itu tadi
baru sebagian tata kelakuan dari orang Jawa. Untuk bagian perempuan, lebih
banyak lagi. Lebih banyak yang harus diperhatikan ketika menjadi bagian dari
perempuan Jawa. Tapi yang sering saya lihat sekarang, banyak perempuan Jawa
asli yang sudah lupa identitas 'Jawa' nya.
Yang
pertama, sebagai seorang perempuan Jawa (terutama bila sudah baligh) haruslah
bisa mengurus dirinya sendiri. Urusan pribadinya harus beres. Karena nanti dia
yang akan mengurus rumah tangganya.
Sebagai
seorang perempuan Jawa, dan saya rasa di suku lain pun seperti itu, perempuan
dituntut untuk bisa memasak. Sebenarnya saya tidak suka bahasa 'menuntut' itu,
karena bagi saya, memang kodratnya perempuan itu harus bisa masak. Apalagi kalo
sudah menikah, masakan bisa jadi penambah keharmonisan rumah tangganya.
Sedikit
banyak, bagi saya seorang perempuan Jawa haruslah bisa memasak. Bisa menakar
kadar gizi untuk keluarganya nanti. Memastikan keluarganya makan dengan sehat
dan teratur. Sehingga anak-anak dan suaminya nanti tidak perlu memakan jajanan
diluar rumah yang belum jelas thoyyibnya.
Perempuan
Jawa itu harus bisa menjaga keharmonisan dan martabat rumah tangganya. Menjaga
keluarganya dari fitnah dan gunjingan. Menjaga suami dan anak-anaknya. Membantu
suami meringankan perkerjaan, memotivasi dan menguatkannya, memperhatikannya
dengan penuh sayang. Juga membimbing
anak-anaknya dengan baik agar menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitarnya.
Perempuan
Jawa juga tidak neko-neko. Sederhana dan apa adanya meski ia dari bangsawan
sekalipun. Rendah hati dan sopan-santun itulah yang biasa menjadi ciri dari
perempuan Jawa. Tidak suka nongkrong hanya untuk kesenangan semata yang
sia-sia. Perempuan Jawa lebih suka membuat kreasi masakan dan dekor di rumah
daripada mendatangi cafe-cafe atau mall hanya untuk sekedar nongkrong.
Tetapi
perempuan Jawa juga harus bisa belanja. Ya, belanja. Memenuhi kebutuhan di
rumah. Memberikan pakaian yang layak untuk keluarga. Memilihkan jas yang baik
untuk suami. Memakaikan anaknya pakaian yang pantas dan sesuai syariat.
Apabila ada
kolega yang sedang punya hajat juga terampil untuk menggunakan anggaran membeli
buah tangan. Membawa bingkisan untuk bapak-ibu maupun mertua juga termasuk
dalam ini.
Tentunya
belanja yang sesuai dengan anggaran rumah tangga. Tidak berlebihan tapi pantas.
Oya, yang
tak kalah penting, perempuan Jawa harus bisa dandan. Berdandan disini maksudnya
bukan dandanan menor begitu. Tapi dandan yang sewajarnya. Misalnya dengan mandi
sehari dua kali. Agar terlihat bahwa perempuan Jawa wajahnya cerah berseri.
Adapun berdandan yang sesungguhnya, hanya ia kenakan di dalam rumah ;)
Yang
terakhir dan paling penting, perempuan Jawa diharap memiliki pendidikan. Baik
pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal misalnya dengan sekolah
hingga menuju dunia kampus. Semakin tinggi jenjangnya, semakin banyak pula ilmu
dan wawasannya. Semakin luas pengetahuannya untuk mendidik anaknya nanti.
Pendidikan
non formal misalnya ketrampilan menjahit, membuat kue, membuat kerajinan
tangan, menyetir, dan banyak kegiatan positif lain. Gunanya untuk menambah
ketrampilan perempuan. Kalau-kalau nanti sang suami lebih memilih sang istri
untuk bekerja di rumah mengurus anak, maka ada suatu hal yang bisa 'disambi'.
Dan yang
paaling utama, perempuan Jawa haruslah memiliki bekal agama yang minimal baik.
Kalau bisa lebih malah. Karena pada agama dan tuntunan-Nya lah semua itu
bersumber.
Ingat,
seorang ibu itu menjadi tonggak bagi bangsanya. Dari rahimnya lah kelak akan
lahir jundi-jundi kecil yang akan meneruskan perjuangan orangtuanya. Maka bila
sejak kecil si anak sudah ditanamkan ilmu-ilmu ukhrowi, akan banyak sekali
calon generasi penerus bangsa yang insyaAllah akan lebih baik lagi. Generasi
rabbani.
Saya orang
Jawa. Tapi tanpa Indonesia saya takkan pernah menjadi seorang Jawa. Dan yang
pasti, saya seorang muslimah. Saya akan berusaha sekuat mungkin menjadi seorang
perempuan Indonesia berdarah Jawa yang bisa mengharumkan nama agama dan bangsa
saya. Saya akan berusaha untuk menjadi agen muslim yang baik :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar