Sepucuk
daun cemara meliuk-liuk mengikuti rayuan angin. Deras hujan masih mengguyur
dari pagi hingga sore kini. Aku melihat bulir-bulir hujan jatuh mengenai jendela
kaca di sampingku, perlahan tetesan itu turun, menyapu lembut permukaan kaca,
hingga berujung pada kusen jendela. Tanpa sadar jari telunjukku menempel pada
kaca, mengikuti tetes-tetes itu menari, membentuk formasi yang aku sendiri
tidak tahu apa bentuknya.
Aku
masih diam mengamati hujan dari balik kaca jendela. Secangkir white coffee yang aku pesan sepertinya
sudah mulai dingin. Ibu jari dan
telunjuk tangan kananku kini sudah melingkari gagang cangkir, sedang jari
telunjuk kiriku menari berputar di bibir cangkir putih itu.
“Heh,
ngelamun aja.”
Aku
tersentak, kaget. Kemudian menarik tanganku dan akhirnya berhadapan dengan
perempuan manis di depanku.
“Eh,
Mbak Shofi ngagetin aja nih. Apa kabar Mbak?” tanyaku sembari berjabat tangan
dengan perempuan seperempat abad itu.
“Baik.
Kamu? Maaf ya telat, kamu udah nunggu lama ya tadi?”
“Alhamdulillah
baik Mbak. Ah, nggak juga kok Mbak,” jawabku sedikit berbohong. Sejujurnya,
sudah satu setengah jam lebih aku menunggu dari jam yang telah kami sepakati
kemarin.
“Tadi
Mbak masih ada kerjaan Dei, jadi baru bisa kesini sekarang. Ini Mbak juga nggak
bisa lama ya, soalnya habis ini masih ada acara lain. Gimana?” kata Mbak Shofi
merasa tidak enak.
“Nggak
apa kok Mbak. Dei cuma mau tanya aja, kira-kira gimana ya Mbak, sama proposal
permohonan dana dari Dei kemarin?”
Mbak
Shofi terlihat menghela napas sejenak, kemudian menggenggam tanganku. “Mbak
minta maaf Dei, Mbak sudah mengusahakan semampu Mbak untuk bilang pada atasan
Mbak. Tapi sepertinya pengeluaran kantor juga sedang banyak, jadi belum bisa
menerima proposal kamu.”
Aku
tersenyum getir. “Jadi begitu ya Mbak, yaudah Mbak, nggak apa kok. InsyaAllah
masih ada jalan lain.”
Mbak
Shofi sepertinya masih terlihat tidak enak padaku. Kemudian mengambil sebuah
kartu nama dari dompetnya, dan menjulurkannya padaku.
“Ini
Dei, coba kamu masukin juga proposalnya ke alamat yang ditulis di kartu nama
ini. Kebetulan orang yang menjalankan perusahaan itu salah satu temen Mbak,
siapa tau dia mau bantu kamu.”
Aku
menerimanya canggung, melihat ke Mbak Shofi sebentar, kemudian tersenyum dan
berkata, “terima kasih banyak Mbak.”
Tak
lama setelah aku menerima kartu nama itu, Mbak Shofi segera pamit. Ia
menawariku untuk pulang bersamanya, tapi aku menolaknya halus. Setelah ini
masih ada tempat yang harus aku kunjungi.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar