Aku
sampai. Di sebuah ramai perempatan kota. Tepat di sudut perempatan itu
terpampang baliho-baliho besar. Mengiklankan produk-produk elektronik terbaru,
restoran yang baru dibuka, hingga acara panggung artis papan atas di klub-klub
malam.
Kini
aku berdiri tepat di bawah tiang baliho. Di seberangku ada jalan dengan
banyaknya mobil-mobil mewah berlalu-lalang. Kemudian aku melihat pemandangan di
depanku, pemandangan di balik panggung baliho ini. Jalan setapak yang becek
terkena hujan menuju ke sebuah perkampungan kecil di bawah jalan raya itu.
Seperti biasa, aku menuruni jalan kecil itu perlahan. Tiba-tiba ada seorang
anak kecil mengambil payung dari tanganku.
“Sini
Kak Dei, biar Asep bantu bawa payungnya,” kata bocah keriting dengan badan
kurus bernama Asep itu.
“Terima
kasih Asep,” balasku sambil tersenyum lembut.
Kami
sampai di perkampungan sangat sederhana ini. Jangan bayangkan rumah dengan
tembok dan penerangannya yang memadai. Kamar mandi saja, mereka harus menumpang
di terminal maupun SPBU-SPBU terdekat. Rumahnya beratap daun kering yang
disusun bertumpuk. Tiangnya dari sisa-sisa kayu yang tidak terpakai. Sedang
alasnya dari kardus-kardus bekas. Orang lain tidak akan bisa membayangkan,
bagaimana jadinya rumah kardus ini bila hujan deras mengguyur dari pagi hingga
sore.
Tetapi
mereka bisa.
“Kak
Dei, lihat deh, sekarang kita bikin rumah pohon, jadi kalau hujan begini, kita
bisa sembunyi di atas pohon,” kini seorang gadis kecil bersuara dari atas
pohon.
“Hati-hati
Ta, kalau anginnya kencang bahaya lho,” seruku dari bawah.
“Tenang
aja Kak Dei, ini teknologi baru, rumah pohon anti badai tornado, hehehe,” jawab
Tata sambil terkekeh, teman-temannya yang lain tertawa.
“Tata
sama temen-temen di atas turun dulu yuk, udah mau malem lho,” kataku membujuk.
“Ah,
nggak mau Kak Dei, dibawah gelap, kalau di atas begini bisa lihat lampu juga
lho,” ujar Tata yang masih ngeyel tidak
mau turun.
“Yaudah
deh kalo gitu nanti jatah makan malam Tata untuk Juno, Asep, Anto, dan yang lainnya
ya,” aku sedikit menggunakan taktik jituku. Mengiming-imingi mereka dengan
jatah makan malam yang jarang mereka dapatkan denagn layak.
“Tata
mau makan Kak Dei, mauuu. Tata turun deh kalo gitu. Temen-temen ayo turun, kita
mau di traktir Kak Dei lho,” seru Tata bersemangat. Aku tersenyum simpul,
geleng-geleng kepala melihat anak-anak kecil yang ramai turun dari rumah
pohonnya.
“Karena masih gerimis, kita mampir ke musholla
dulu yuk,” kataku sambil mulai melangkah bersama anak-anak kecil ini.
Baru
beberapa langkah tiba-tiba seorang pria paruh baya keluar. “Heh, mau kemana
kamu Asep? Kerja lagi nanti kalau hujannya sudah reda, jangan ngeloyor terus!”
“Asep
pergi sama Kak Dei, Pak,” jawab Asep takut-takut, bersembunyi di balik jaketku.
Aku berinisiatif menemui bapak Asep.
“Assalamu’alaikum
Pak, ini Dei. Maaf Pak, saya cuma mau ngajak adek-adek ke musholla sebentar,
kasian mereka kehujanan disini. Nanti saya antar mereka kembali kok Pak,”
kataku setenang mungkin.
Tiba-tiba
muncul seorang ibu-ibu sedang menggendong bayi. Ibunya Siti. Kemudian berkata,
“Oalaah, Mbak Dei tho iki. Wis, rapopo Mbak Dei,
diajak wae si Siti sama
temen-temennya, aku juga lagi repot iki,
daripada mereka malah ribut terus. Iki
lho Pakdhe sing jenenge Mbak Dei, sing biasane ngasih nasi bungkus buat
kita itu,” kata Ibunya Siti kepadaku kemudian pada Bapak Asep.
Aku
hanya tersenyum sebentar, kemudian menunggu bapak Asep mengangguk. Akhirnya
bapak Asep mengizinkan kami untuk pergi.
Kami
melanjutkan perjalanan kembali. Tujuan kali ini adalah musholla kecil di
seberang jalan raya. Belum lama setiba kami di musholla, adzan Maghrib
terdengar. Aku mengajak anak-anak untuk sholat.
“Ah,
Siti udah lupa bacaan salat, Kak Dei. Ibu nggak pernah salat sih,” kata Siti.
“Iya
Kak Dei, Tata sama yang lain juga udah lupa,” tutur Tata. Disambut tanda setuju
dari teman-temannya. Aku tersenyum mengerti, kemudian berkata,
“Sekarang,
dicoba lagi ya. Ambil air wudhu, trus kita sholat bareng-bareng di dalem. Kalau
lupa bacaannya, dengerin imamnya dulu, insyaAllah besok Kak Dei ingetin lagi
deh bacaannya. Oke?”
“Asep
nunggu diluar aja deh Kak Dei, malu, bajunya asep kan kotor, nggak seperti orang-orang
itu,” tukas Asep.
“Asep,
Allah nggak liat bajunya Asep. Yang Allah lihat itu, gimana Asep sholatnya nanti.
Yang Allah denger itu bukan pujian baju bagusnya Asep, tapi doanya Asep. Nah,
sekalian aja nanti Asep minta sama Allah untuk dikasih baju baru. Ya?”
Asep
terdiam sejenak. Teman-temannya juga. Kemudian mengangguk kecil. Teman-temannya
yang lain segera megikuti. Mereka akhirnya berwudhu, terlepas dari wudhu yang “ala
kadar”nya saja.
Kini
tinggal rintik gerimis kecil. Langit pun mulai gelap. Lampu-lampu penerangan
jalanan sudah menyala sejak tadi. Mentari berganti bohlam-bohlam listrik.
Trotoar jalanan mulai ramai oleh pedagang kaki lima. Dan kini kami singgah di
sebuah warung makan setelah sholat Maghrib berjamaah. Asep dan teman-temannya
terlihat ceria sekali melihat makanan terhampar di depannya. Segera ia
memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Aku menghentikan gerakan sendoknya sejenak.
“Hayoo,
udah pada baca doa belum? Baca doa dulu yuk, biar Allah besok masih memberi
kita makanan lagi. Ada yang mau mimpin baca doa?” aku melirik pada anak-anak
lugu di depanku satu-persatu.
“Hmmm..pada
lupa ya doanya. Yaudah Kak Dei aja dulu deh yang mimpin, lain kali gantian
adek-adek ya..,” kataku sambil menatap mereka. “Ikutin doa Kak Dei ya
Adek-adek. Allahumma baariklanaa fiima
rozaqtanaa waqinaa adzaabannaar…aamiin.”
Aku
kehilangan selera makan. Entah mengapa melihat wajah-wajah lugu mereka yang
sedang makan sudah membuatku kenyang. Ah,
andai saja… Tiba-tiba aku teringat dengan proposal yang masih tersisa di
ranselku. Aku tau aku tidak boleh menyerah. Seperti mereka yang tidak menyerah
dengan keadaan mereka pula.
“Akhirnya
kita bisa makan ya, gara-gara hujan seharian kita batal ngamen dan nggak dapet
duit sama sekali,” celetuk Agus sambil sedikit mendengus kesal.
“Iya,
untung Kak Dei dateng, trus ngajakin kita makan, hehe,” Siti melirik ke arahku.
Aku tersenyum saja mendengar celoteh-celoteh mereka.
Tiba-tiba
Asep yang duduk di sampingku menarik jilbabku lembut. Aku menoleh ke arahnya,
dan dia berbisik di telingaku, “Kak Dei, boleh minta bungkusin nasi untuk bapak
di rumah?”
Aku
tersenyum, “Iya, boleh kok. Sekalian buat yang lain ya, coba Asep hitung yang
belum makan siapa, nanti kita bungkusin. Oke?”
Asep
terlihat cerah wajahnya, “Makasih Kak.”
Setelah
aku membayar semua bungkus nasi dengan hasil tabungan dan sumbangan dari mama,
saatnya kami pulang. Beramai-ramai kami menyusuri trotoar yang sesak oleh
pedagang. Kemudian menyeberang jalan raya untuk sampai di “rumah” mereka.
“Pak,
ada makan Pak, dari Kak Dei,” kata Asep kepada bapaknya. Bapak Asep melihat
bungkus nasi itu sebentar, kemudian mengambilnya, lalu masuk lagi ke dalam
kemah kardus itu. Asep menyusul bapaknya ke dalam. Demikian juga dengan
anak-anak yang lain, segera mencari orang tuanya masing-masing. Mereka yang
tidak punya orang tua berkumpul bersama, bermain, dan bercanda sekedar untuk
melupakan kesedihan mereka.
Aku
lekas pamit pada anak-anak itu dan juga orangtuanya. Saat hendak pergi, Asep
dan Agus mengejarku.
“Bapak
bilang makasih Kak Dei. Kata Bapak, kalo besok kesini lagi, Kak Dei bawa
presiden ya, biar kita dibuatkan rumah yang nggak usah ganti-ganti kardus tiap
hari,” Asep berujar polos. Aku tertegun. Ya
Allah..
“Kak
Dei, kita anterin pulang ya. Kata bapak sama ibu kita harus jagain Kak Dei
sampai rumah, soalnya ini udah malem. Bapak sama ibu udah ngasih izin kok, dan
kita pasti bisa jaga diri. Kan kalo Kak Dei nggak bisa berantem, hehe,” Agus
terkekeh.
Aku
memandangi mereka, merangkul pundak mereka yang kurus, mengusap lembut rambut
keduanya. Gerimis mereda, berganti air mataku yang kini menggenang di pelupuk
mata. Aku pura-pura mendongak ke atas, agar air mataku tak terlihat oleh
mereka. Wahai gelapnya langit,
saksikanlah..
Sesampainya
di rumah, mama menyambutku di ruang tamu. Mama tersenyum, segera aku
memeluknya.
“Capek
Dei?” tanya Mama sembari mengusap kepalaku yang masih terbalut jilbab.
“Belum
Ma, tidak akan… Sampai Dei bisa menyaksikan mereka mendapatkan apa yang
seharusnya mereka dapatkan.”
Aku
terkantuk hingga akhirnya terlelap di pangkuan Mama. Mama memang selalu menjadi
tempat persinggahan pertama dan terakhir. Dan aku, ingin menjadi tempat
persinggahan pula untuk anak-anak kecil itu, calon generasi penerus yang akan
mengubah negri ini.
***
Masih tersisa satu lagi proposal di
ranselku. Berharap siapapun dapat mengabulkan permohonan ini. Tidak perlu
mahal, tidak perlu mewah. Sederhana saja, sesederhana permintaan tulus dari
mereka, akan sebuah jaminan kehidupan yang lebih layak dan memadai.
“Proposal Permohonan
Dana. Rumah Singgah Anak Jalanan”
Luar biasa..
BalasHapusSemoga segera terealisasi ya :)
amiiin, amiiin ya Rabb :)
Hapuspastinya membutuhkan bantuan dari temen2 semua.
bersedia membantu kan mas? hehe :D