Seorang gadis kecil berusia sembilan tahun tengah tertidur pulas. Diruangan yang terbilang cukup lebar, mewah, namun tidak nyaman. Karena bau obat bercampur disana-sini. Tangannya yang kecil tersambung dengan selang-selang infus yang entah sudah keberapa.
Disampingnya, terduduk seorang wanita paruh baya yang mengamati gadisnya sendu. Berkali-kali ia memperhatikan anaknya yang sedang tertidur pulas. Kadang sebulir dua bulir air mata menempel di pipinya tanpa sengaja, kemudian buru-buru ia menghapusnya.
Bunda takut kamu tidak akan bangun lagi, Nak.
Mata si gadis kecil mengerjap. Sang bunda dengan sabar menanti hingga matanya terbuka sempurna. Kemudian memberikan senyum saat gadis kecil itu melihat ke arah dirinya.
“Ada apa Sayang? Bunda disini,” kata sang bunda.
“Dinda tau kok Bunda,” jawab si gadis lemah.
“Dinda mau apa Sayang? Dinda mau minum dulu?”
Si gadis hanya menggeleng pelan.
“Bunda, bahagia itu seperti apa?” tanya si gadis tiba-tiba.
Sang bunda terdiam sesaat. Bingung dengan pertanyaan putri semata wayangnya.
“Apa Bunda sekarang bahagia?”
Belum satu pertanyaan dijawab, putrinya memberi pertanyaan lagi.
“Iya sayang, Bunda bahagia,” jawabnya. Bunda bahagia sekali melihatmu masih dapat berbincang dengan bunda, Nak.
“Bahagia itu saat Bunda menikah dengan Ayah?”
“Iya, Bunda bahagia. Apalagi setelah Bunda memiliki Dinda,” ujar sang bunda sambil tersenyum manis.
Namun dalam hatinya teriris. Pernikahannya 10 tahun yang lalu amat membahagiakannya. Kebahagiannya memuncak setelah ia melahirkan Dinda, putri semata wayangnya. Namun sepertinya kebahagiaan miliknya hanya sampai ketika Dinda meginjak umur tujuh bulan. Suaminya, Ayah Dinda meninggal dalam suatu kecelakaan konstruksi dalam pekerjaannya. Ia mengalami depresi berat saat itu. Namun berkat bantuan dari keluarga yang mendukungnya, berkat Dinda kecil, ia berhasil bangkit.
Ibarat selamat dari banjir, ia terhadang badai. Setelah bertahun-tahun menjadi single parent, kini ia harus menerima kabar buruk. Lagi. Buah hatinya tercinta divonis mengidap kanker darah, diusianya yang amat muda, delapan tahun.
Hidupnya kembali tidak tertata. Yang ada dipikirannya hanya Dinda. Sudah sebulan ini Dinda dirumah sakit, lantaran penyakitnya yang kian memburuk. Ia selalu meminta kepada dokter bagaimanapun caranya agar menyelamatkan nyawa Dinda. Ia tidak ingin kehilangan permata satu-satunya.
“Bunda…,” Dinda menyadarkan sang bunda dari lamunan masa lalunya.
“Iya Sayang?”
“Dinda tidak pernah melihat Ayah. Apa Ayah sangat tampan?”
“Tentu. Ia sangat tampan, makanya Dinda juga cantik,” goda sang bunda.
Si gadis tertawa lemah. “Ah, Bunda ini. Apa Ayah juga baik Bun?”
“Ayahmu adalah laki-laki terbaik yang pernah Bunda kenal. Ada apa sayang? Kenapa tiba-tiba bertanya tentang Ayah?”
“Emmm, nggak apa Bun. Dinda cuma kangen Ayah, kan Dinda belum pernah melihat Ayah.”
Sang bunda tertegun. Jangan Sayang, jangan sekarang..
“Yasudah, Dinda istirahat lagi ya, nanti ndak kecapean. Oke?” kata sang bunda pura-pura tegar.
“Bunda sedih ya ditinggal Ayah?” si gadis tetap melanjutkan perbincangan mereka, meski dengan suara yang melemah.
Sang bunda menghela napas sebentar, “Iya Sayang, tapi sedih Bunda terobati karena masih ada Dinda,” lanjut sang bunda dengan tersenyum kearah gadisnya itu.
“Kalau Dinda pergi, Bunda..juga sedih?”
Sang bunda mulai tak tahan. Sebulir air mata jatuh dipipinya. “Ssst, Dinda ini ngomong apa sih. Sudah, ayo Dinda istirahat,” sang bunda menjawab sembari membenahi letak selimut anaknya.
Tangan si kecil menggenggam lengannya.
“Bunda, kalo Dinda pergi, Bunda jangan sedih ya. Bunda jangan menangis. Dinda ingin Bunda bahagia. Maafkan Dinda ya Bun, karena selama Dinda sakit Bunda tidak bahgia. Kalo Dinda pergi, Bunda masih punya Allah. Allah tidak mati Bunda, Allah akan ada untuk Bunda. Sebagaimana Bunda selalu ada saat Dinda membuka mata.”
Sang bunda semakin perih batinnya. Tak ada sura yang mampu keluar. Ia hanya menangis dan berkali-kali mengecup kening dan pipi putrinya.
“Bunda jangan menangis.. Bunda tidak boleh sedih. Bunda, Dinda bosan dengan rumah
sakit ini. Dinda ingin bertemu Ayah. Dinda akan bahagia kalo bisa bertemu Ayah.”
Sang bunda memeluk tubuh mungil putrinya yang kian melemah. Pelukannya semakin menguat. Tangisnya semakin membanjir.
“Bun..da, ba..ha..gia kan.. ka..lo Din..da ba..ha..gi..a?” tanya si gadis dengan terbata dan susah payah.
Bundanya hanya bisa menangis, hingga akhirnya mengangguk pelan.
Maafkan Bunda Nak, maaafkan Bunda..
“I..zin..kan Din..da ber..te..mu..de..ngan..A..yah ya..Bun?”
Sang bunda tidak megendurkan pelukannya, hanya berbisik pelan pada telinga gadis kecilnya.
“Iya Sayang..maafkan Bunda..Bunda mencintaimu Nak..” katanya pelan.
Perlahan ia melepas pelukannya. Dan tangisnya tumpah, melihat gadis kecilnya pergi dengan senyuman termanisnya. Ia megusap wajah gadis kecilnya lembut.
“Sampaikan salam Bunda untuk Ayah ya, Dinda Sayang. Tunggu Bunda disurga Nak..” lirih sang bunda.
“Bunda, Dinda sayang sama Bunda. Dinda juga sayang sama Ayah. Walaupun Dinda belum pernah melihat Ayah. Dinda sayang semua yang disayang Bunda.Semoga Allah juga sayang sama Dinda, kaya sayngnya bunda ke Dinda”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar